TENTANG BADUT KECILKU
/
0 Comments
mentari berbinar
bulan tersenyum
dan bintang bertepuk tangan
badut itu masih tetap tertancap tanah pinggiran sungai nias. kakinya tertekuk meski sudut lipatnya terus mengamuk. ia menangis, matanya mengatup. setidaknya dua ratus juta pertikel angin terus mengecup; merah, biru, ungu, kelabu, kelabu, kelabu baurkan jadi satu siapkan hari tuju. di tepi sungai, di daerah kekuasaan buaya lapar ia menunggu.
bulannya pergi setahun lalu di bawa tongkang entah kapan pulang. tinggal matahari sekarang. tiada malam dan senyum ranum engkang rembulan. “hanya satulah mbulan kupunya,” katanya. ”tahukah sampean tentang deru di langit yang tak lagi biru, berdenyar-denyar dalam gugusan badai. apakah itu yang dinamai rindu? berpijar namun tak pernah sampai?”
cerobong setahun mengaca cakrawala, makin besar. badutpun mengambil batang pagar mata dan menganga. “rembulan, rembulan, rembulan” katanya, tapi percayalah bukan Tuhan.
dari balik kaca eksekutif, rembulan kembali dengan gaun sinderella, ikal kepalanya telah tiada. tangannya dibungkus kain persia. sepatu kaca yang belereng matahari di sampingnya.
dia, badut itu melangkah tinggalkan aliran sungai nias, meski dengan mata berkaca karena bias silau sepatu kaca. menapak jalan pengembara dan bertanya pada rumah-rumah tetangga yang hidupnya sungguh ruwet kaitannya. pada angin yang entah dengan apa ia menyusunnya. pada aliran air yang entah dimana dan kapan berhentianya.
“eee..kamu kenapa” cletup cak Dajjal yang memang dari dulu sudah numpang hidup dalam tubuhnya. dan perang
menjawablah badut itu
“tawaran tak berhati mungkin pantas tak dimengerti.tak layakpun ia dibenci. hanya cukup legakan hati tuk itu dimengeti. sekejap sesalan torehkan teguran. harap pun sayang tiada ucap jadi badut berarap tanpa keringat. ya Sami’,ya Bayir,ya Kabir.”
itu sepenggal surat takdir badut kecilku, bukan asap saat itu. tapi angin rendah timbulkan gelap. akulah saksi. matanya berkaca saat cerita. sisiku merasa kisi kikis hatinya. lidahku gagap paksa getar swaranya. itu saksiku atas badut kecil tak terbuka. bukan mereka dan bukan siapa-siapa.
“ya Latif ya Ahad ya Somad
seonggok hati tak harus memiliki. biar kumiliki sendiri rasa ini. tanpa berbagi tanpa sanksi tanpa rasa tanpa hati tanpa tawa takkan ku tangisi. biar satu jari kutepuk hati ini. biarkan ku jadi mutan dingin tanpa rasa hanya satu program jiwa, tertawa tertawa dan tertawa. Mulutku kan membuka tawa mereka. langkahku kan mengganti peluh mereka. Siapalah aku, hanya badut tak berdaya. tanpa rasa hanya tawa. ya Robby robbul izzati siapa aku ini? tak tahu jalan tukku pulang. terlalu dungu daku tuk Kau tunjukkan. ya Alim ya Jabar ya Mutakabbir. laa khaula walaa kuwwata illabillahil aliyyi adzim.”
“sudahlah badut” kataku padanya. “tenang kawan, aku sudah biasa sakit kok”…….bersambung.
bulan tersenyum
dan bintang bertepuk tangan
badut itu masih tetap tertancap tanah pinggiran sungai nias. kakinya tertekuk meski sudut lipatnya terus mengamuk. ia menangis, matanya mengatup. setidaknya dua ratus juta pertikel angin terus mengecup; merah, biru, ungu, kelabu, kelabu, kelabu baurkan jadi satu siapkan hari tuju. di tepi sungai, di daerah kekuasaan buaya lapar ia menunggu.
bulannya pergi setahun lalu di bawa tongkang entah kapan pulang. tinggal matahari sekarang. tiada malam dan senyum ranum engkang rembulan. “hanya satulah mbulan kupunya,” katanya. ”tahukah sampean tentang deru di langit yang tak lagi biru, berdenyar-denyar dalam gugusan badai. apakah itu yang dinamai rindu? berpijar namun tak pernah sampai?”
cerobong setahun mengaca cakrawala, makin besar. badutpun mengambil batang pagar mata dan menganga. “rembulan, rembulan, rembulan” katanya, tapi percayalah bukan Tuhan.
dari balik kaca eksekutif, rembulan kembali dengan gaun sinderella, ikal kepalanya telah tiada. tangannya dibungkus kain persia. sepatu kaca yang belereng matahari di sampingnya.
dia, badut itu melangkah tinggalkan aliran sungai nias, meski dengan mata berkaca karena bias silau sepatu kaca. menapak jalan pengembara dan bertanya pada rumah-rumah tetangga yang hidupnya sungguh ruwet kaitannya. pada angin yang entah dengan apa ia menyusunnya. pada aliran air yang entah dimana dan kapan berhentianya.
“eee..kamu kenapa” cletup cak Dajjal yang memang dari dulu sudah numpang hidup dalam tubuhnya. dan perang
menjawablah badut itu
“tawaran tak berhati mungkin pantas tak dimengerti.tak layakpun ia dibenci. hanya cukup legakan hati tuk itu dimengeti. sekejap sesalan torehkan teguran. harap pun sayang tiada ucap jadi badut berarap tanpa keringat. ya Sami’,ya Bayir,ya Kabir.”
itu sepenggal surat takdir badut kecilku, bukan asap saat itu. tapi angin rendah timbulkan gelap. akulah saksi. matanya berkaca saat cerita. sisiku merasa kisi kikis hatinya. lidahku gagap paksa getar swaranya. itu saksiku atas badut kecil tak terbuka. bukan mereka dan bukan siapa-siapa.
“ya Latif ya Ahad ya Somad
seonggok hati tak harus memiliki. biar kumiliki sendiri rasa ini. tanpa berbagi tanpa sanksi tanpa rasa tanpa hati tanpa tawa takkan ku tangisi. biar satu jari kutepuk hati ini. biarkan ku jadi mutan dingin tanpa rasa hanya satu program jiwa, tertawa tertawa dan tertawa. Mulutku kan membuka tawa mereka. langkahku kan mengganti peluh mereka. Siapalah aku, hanya badut tak berdaya. tanpa rasa hanya tawa. ya Robby robbul izzati siapa aku ini? tak tahu jalan tukku pulang. terlalu dungu daku tuk Kau tunjukkan. ya Alim ya Jabar ya Mutakabbir. laa khaula walaa kuwwata illabillahil aliyyi adzim.”
“sudahlah badut” kataku padanya. “tenang kawan, aku sudah biasa sakit kok”…….bersambung.
9 september 2008